Kita Boleh Miskin, tapi Otak Jangan


Foto by: Okezone.com
 

Pagi begitu cerah, Roni membuka jendela kamarnya yang juga sekaligus sebagai jendela rumahnya, ya rumahnya hanya sepetak kecil di pinggir rel kereta. Roni bergegas mencuci muka dan memakai pakaian yang rapi untuk berangkat ke sekolah, kata Ibunya, “Kita boleh miskin, otak jangan ya”, pesan terakhir Ibunya selalu diingat oleh Roni. Sekarang Roni hidup Bersama dengan Ayahnya dan kedua adiknya, meskipun Roni masih SMP (Sekolah Menengah Pertama) dia sudah bertanggungjawab untuk mencari nafkah Bersama Ayah dan adik-adiknya.

“Yah, Roni berangkat sekolah dulu, nanti Roni akan pulang lebih awal jadi bisa bantuan Ayah mulung hari ini”, begitu kata Roni,

“Makasih ya Roni, ini ayah ada uang 2 Ribu, kamu bisa pakai untuk beli jajan di sekolah” Ayah Roni memberikan anaknya uang

Roni memberikan senyum manisnya, diambilnya uang Ayahnya, meski dia tahu tak akan ada jajanan yang bisa dibeli dengan uang dua ribu. Tapi Roni yakin kalau rezekinya nanti pasti ada saja. Dia yakin itu.

Sekolah Roni adalah termasuk sekolah yang cukup bagus, Roni beruntung masuk melalui jalur beasiswa, mungkin tak banyak yang tahu kalau Roni adalah anak pemulung yang berusaha bisa bersekolah. Teman-teman Roni berada di kalangan menengah ke atas dan hidup berkecukupan.

“Ron, kita ke kantin yuk, gue jajanin deh” Teman Roni mengajaknya untuk makan ke kantin dan mencoba mentraktir Roni

“Eh, nggak usah, gue udah kenyang, kalian aja pergi makan”, kebiasaan Roni menolak ajakan temannya, Roni nggak mau merasa berhutang budi dengan orang lain.

“Yah, lu nggak asik nih, ya udah deh, gue pergi yaa”

“Oke ya udah, gue mau ngerjain tugas lagi”, Roni mencari alasan supaya ada kesibukan lainnya dan bisa mengalihkan perut yang keroncongan karena tidak diisi dari pagi.

Roni memeriksa meja belajarnya untuk mengambil buku yang dia selipkan kemarin, dia ingin menulis beberapa catatan untuk belajar ulang, tapi dia menemukan bungkusan plastik, di dalamnya sudah ada roti dan beberapa cemilan, ada tulisan kecil juga di sana, “Jangan lupa sarapan ya, wajib jaga Kesehatan”, Roni kaget menerima itu dan dia melihat di sekelilingnya, tidak ada orang yang berada di sana, karena perut lapar, Roni makan Roti yang ada di mejanya.

Dari jauh Nampak sosok yang memperhatikan Roni dan tersenyum melihat Roni karena Roni akhirnya bisa menikmati cemilan yang dibelinya.

***

Sepulang sekolah Roni bergegas untuk bertemu Ayah dan adik-adiknya, dia mengambil karung dan mengganti pakaiannya. Roni sudah tidak sabar untuk mencari kaleng bekas dan karton bekas yang bisa dijualnya nanti.

Biasanya Roni akan membagi Bersama Ayahnya titik lokasi untuk memulung. Hari ini Roni mendapatkan tempat mulung di salah satu perumahan. Iya memakai topi andalannya dan bersamaan dengan karung yang dipikul di pundaknya.

Saat Roni memulung dia berhenti di suatu rumah, Ketika memasukkan karton bekas ke karung, ada yang kaget melihat Roni.

“Kamu bukannya Roni ya? Temannya Ikhsan?Kata Ibu-ibu yang terkejut melihat Roni

Roni membuka topinya, dia tersenyum “Iya bu, ini saya Roni teman satu kelas dengan ikhsan”

“Ya ampun, kamu pemulung, kamu jangan teman dengan anak saya lagi ya, jauh-jauh dari ikhsan”, Ibu itu mulai ketus dengan Roni

“Maaf bu, saya tidak pernah menyuruh ikhsan berteman dengan saya, memangnya saya salah berteman dengan ikhsan bu, apa karena saya seorang pemulung? saya tidak melakukan Tindakan kriminal, saya orang yang sama dengan Ibu, manusia”, Roni mencoba membela

Roni memang tidak suka jika pekerjaannya dihina, karena dia hidup dari memulung, dia sadar banyak orang merendahkannya, tapi dia bangga dengan yang dilakukannya. Dia tidak melakukan kesalahan.

“Kamu berani ngelawan saya ya, nggak tahu kamu saya siapa, mau berurusan sama saya kamu ya, lihat aja nanti” Ibu Ikhsan masuk ke rumahnya dengan wajah kesal

Roni pergi ke rumah lainnya, memungut beberapa kaleng bekas dan memasukkan ke dalam karung.

Sesampainya di rumah, Roni masih teringat dengan ucapan Ibu Ikhsan tadi, dia menangis dan melihat foto Ibunya yang memakai gaun cantik bersama dengan lelaki berjas hitam yaitu Ayahnya, dulunya orang tua Roni adalah pengusaha kaya, tetapi jatuh miskin dan semua terjual habis, Ibunya sering sakit-sakitan saat mereka miskin dan akhirnya meninggal dunia. Tetapi Roni tidak pernah lupa nasihat dan petuah Ibunya. “Kita memang miskin, tapi otak jangan”

***

Paginya Roni seperti biasa berangkat ke sekolah, dia mendapatkan panggilan dari kantor kepala sekolah, ternyata di sana sudah ada perwakilan orangtua siswa dan kepala sekolah yang menunggu Roni.

“Ada apa ya pak?”

“Begini Roni, saya mendapat laporan dari orangtua siswa kalau kamu sering bertingkah tidak baik, katanya kamu suka memeras uang anak-anak”

“Saya tidak pernah seperti itu pak, memangnya ada buktinya pak?”

“Saya mendapatkan laporan ini dari orang yang terpercaya di sekolah ini, jadi saya yakin Ibu itu tidak akan salah, kamu tahukan kamu masuk jalur beasiswa, jangan buat masalah di sekolah ini”

“Pak, saya mau minta keadilan, saya tidak mau dituduh seperti ini pak, meskipun dia orang terpercaya sekalipun, harus ada buktinya” Roni masih membela

“Wah, sepertinya memang benar kata Ibu itu pak, anak ini harus dibina”, Begitu kata Bapak-bapak yang merupakan perwakilan orang tua siswa.

“Kamu saya skors tiga hari ya, tidak boleh masuk sekolah dulu, kamu coba renungkan kesalahan kamu”, Begitu ucapan yang dikeluarkan Kepala Sekolah Roni

“Tapi saya nggak mau berhenti sekolah pak, saya nggak mau mengecewakan Ibu saya, pak jangan skors saya Pak”

Air mata Roni keluar, dia tidak tahu mengapa ini harus terjadi padanya, dia yakin kalau dia tidak salah.

Dari luar ada seseorang yang melihat Roni dan seperti merencanakan sesuatu kepada Roni.

Jalan pulang Roni menangis, dia tidak mau ayahnya tahu, dia memilih pergi ke makam Ibunya dan bercerita di sana.

Ada seseorang yang mengikuti Roni, dia memengang Pundak Roni,

“Halo Roni”

Roni melihat ke belakang dan terkejut

“Iya Pak, kenapa Pak Tono di sini”

Pak Tono adalah guru Roni, dia adalah teman baik Ibu Roni, dulunya Pak Tono pernah berjanji untuk menyekolahkan Roni sampai tamat untuk membayar kebaikan Ibu Roni yang juga berlaku sama kepada Anak Pak Tono. Ternyata kemudahan Roni mendapatkan beasiswa di sekolah juga atas usaha Pak Tono melengkapi berkas-berkas Roni.

“Ibu kamu adalah teman baik bapak, dulunya Anak Bapak pernah dibantu oleh Ibumu hingga bisa menjadi orang sukses di Amerika, semua berkat Ibumu Ron, bapak sangat berterima kasih pada Ibu kamu Ron”

“Saya baru tahu pak, Iya Ibu memang orang yang baik, seandainya Ibu masih ada, mungkin kehidupan saya bisa lebih baik pak”. Roni mulai mengeluarkan air mata

“Roni, bapak turut sedih karena kamu di skors oleh sekolah, sepertinya ada orang yang tidak menyukai kamu berada di sekolah itu”,

“Iya pak, terima kasih, tapi saya sedih karena saya tidak bisa menjaga amanat Ibu untuk terus sekolah pak, supaya otak saya tidak miskin”

“Masya Allah Roni, kamu memang anak yang baik, nah Anak Bapak kan sekarang di Amerika dan bertanggungjawab pada suatu yayasan di sana, kamu maukah sekolah di luar negeri?, biar bapak yang bantu, di sana kamu bisa mendapatkan beasiswa dan bisa juga nanti setamat SMA kamu bekerja sambil kuliah, bagaimana?

“Terus Ayah dan adik-adik saya gimana pak?”

“Kemarin saya udah bicara dengan ayah kamu, dan dia setuju, ayah kamu juga lagi merintis usaha, saya juga bantu untuk mencarikan ruko yang murah, jadi nanti kehidupan Ayah kamu bisa lebih baik dari sebelumnya, kamu tidak usah khwatirkan itu”

Roni tidak percaya dengan apa yang didengarnya, dia mengiyakan apa yang dikatakan oleh Pak Tono. Roni bersegera mengurus kelengkapan berkas dibantu oleh Pak Tono

***

Sepuluh tahun berlalu

Roni akhirnya bisa bekerja di tempat bergengsi, dia juga menjadi salah satu pengajar terbaik di Harvard University. Roni selalu mengingatkan mahasiswanya bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, seperti amanah yang pernah Ibunya sampaikan, “Kita boleh miskin, tapi otak jangan”.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru Raih Prestasi Internasional Berkat Menulis

Bernostalgia di Aplikasi Facebook

Writing By Heart