Apa Karena Aku Perempuan?
Foto by Herstory
“Kamu
itu perempuan, ndak harus sekolah tinggi-tinggi, buat apa, toh juga bakal jadi
Ibu Rumah Tangga”, Sambil menjahit celana yang bolong Bibi Ani menasehati Ani
karena Ani ingin melanjutkan sekolahnya ke bangku perkuliahan.
“Tapi
Bi, aku juga mau mengembangkan diriku, hidup aku bukan hanya untuk menikah
terus jadi Ibu Rumah Tangga, kalaupun nanti aku jadi Ibu Rumah Tangga,
memangnya salah kalau aku jadi Ibu yang pintar untuk anak-anakku, bukannya madrasah
pertama kali itu adalah seorang Ibu?”, Ani mencoba dengan baik menyampaikan ke
Bibinya
“Kamu
itu pikirannya sudah dirasuki oleh pikiran yang bebas, memang nggak akan bisa Bibi
bicara sama kamu, terserah kamu aja maunya bagaimana, yang jelas Bibi ndak
punya uang lagi buat kuliahin kamu”, Bibinya menutup pembicaraan
Ani
sedih mendengar ucapan Bibinya, memang sejak orangtuanya meninggal, dia tinggal
Bersama Bibi dan Pamannya, Pamannya Ani adalah adik ayah Ani, tapi jarang
pulang, sehingga Ani sering mengutarakan kemauannya kepada Bibinya yang dia
sudah anggap seperti Ibunya sendiri. Tapi sayangnya, beberapa kemauan Ani tidak
berjalan mulus, bisa sekolah sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) saja sudah
syukur sekali. Karena bagi keluarga Bibi dan Pamannya tidak penting Pendidikan terutama
bagi seorang perempuan.
Ani
begitu tampak gelisah, teman-teman Ani bertanya padanya
“Ani,
kamu kenapa sih? Dari tadi aku lihat kamu seperti memikirkan sesuatu”, Titi
yang merupakan salah satu sahabat Ani penasaran dengan raut muka Ani yang masam
dan sedih
“Aku
sedih Titi, aku sepertinya tidak akan lanjut kuliah seperti kalian, aku mungkin
akan berhenti di sini saja. Mungkin juga nanti aku akan bekerja di pabrik dekat
rumah saja, untuk membantu biaya kehidupan Bibiku”, mata Ani mulai berkaca-kaca
“Kamu
yang sabar ya Ani, insyaa Allah ada jalan kalau kamu mau berusaha, kita harus
terus positif dan berpikiran maju,
jangan mau diperbudak pikiran sendiri”, Titi mencoba menyemangati Ani
“Kalau
saja ibuk dan bapakku masih hidup, mungkin saja sekarang aku sudah dengan
senangnya memilih jurusan yang aku mau, aku pengen kuliah ti, aku pengen jadi
orang pintar”, Ani memeluk Titi
Suasana
menjadi haru biru, Ani meluapkan kesedihannya kepada sahabat baiknya, memang
tidak selamanya kehidupan berjalan dengan mudah, Ani harus merasakan kepahitan
untuk tidak kuliah dan sepertinya akan mengubur mimpinya
Keesokan
harinya Ani bersiap untuk menyiapkan berkas-berkas untuk melamar pekerjaan
karena ijazahnya sudah diterima kemarin. Dia bergegas mengantarkan beberapa lamaran
pekerjaan di dekat rumah Bibinya. Saat diperjalanan Ani berpapasan dengan tetangganya
yang kini sudah pindah ke pusat Ibu kota.
“Kamu
Anikan? Ani ? Yang kalau ketawa suaranya sampai ke rumah saya?”, Bang Jojo itu
lah nama orang yang menyapa Ani
“Iya,
ini bang Jojo kan ya?, hehe sudah lama ya bang nggak ketemu, Lisa gimana
kabarnya bang?, Ani mencoba bas abasi menanyakan tentang Lisa yang merupakan Adik
Jojo.
“Lisa
baik, Alhamdulillah dia lulus fakultas kedokteran, sekarang lagi persiapan
untuk kuliah, eh kamu mau daftar kuliah ya? Rapi banget”, Jojo mencoba menebak
sekenanya
“Aku
nggak kuliah bang, aku mau cari kerja dulu”, Ani mencoba tersenyum tipis
“Kamu
cerdas Ani, sayang sekali kamu tidak melanjutkan keperkuliahan”, Jojo mencoba
menyemangati Ani
“Hehe,
doakan saja ya bang, semoga aku bisa bayar kuliah dengan hasil gajiku nanti, oh
ya, aku udah telat nih, bentar lagi akan ada interview kerja, aku duluan ya bang”, Ani bergegas pergi
Jojo
melihat Ani sampai punggungnya menghilang, Jojo melihat cinta pertamanya
berlalu pergi, Jojo mencintai Ani sejak lama, sejak mereka masih kecil, memang
usia mereka terpaut agak jauh, tapi nyatanya Jojo masih sering meninjau dan
memperhatikan Ani dari jauh. Hari ini hatinya berbunga karena bisa membuka pembicaraan
dengan Ani. Namun sayang, Jojo tidak berani mengutarakan isi hatinya.
Ani
akhirnya diterima bekerja di salah satu pabrik kertas di dekat rumahnya, sudah dua
tahun dia menjalani pekerjaan sebagai karyawan pabrik, karena dia hanya tamatan
SMA, gaji yang diterima Ani tidaklah banyak, dia harus membagi lagi dengan Bibinya
dan juga kebutuhan Ani secara pribadi. Sepertinya angan-angan untuk kuliah akan
sirna, Ani sudah mulai mencoba melupakan mimpinya untuk berkuliah, tetapi ternyata
mimpi itu tetap terpelihara dalam hatinya.
Hati
Ani terus berkata “Perempuan harus pintar dan cerdas, harus bisa sekolah
setinggi-tingginya dan harus belajar darimana saja”. Meskipun tidak bisa
kuliah, rupanya Ani sering membeli buku bekas dan membaca berbagai bahan bacaan,
namun yang paling dia suka adalah tentang Psikologi, Ani berhasil menamatkan empat
buku Psikologi dan dia juga banyak bertanya kepada teman-temannya yang
mengambil jurusan Psikologi, apa saja buku yang mereka baca.
Pada
suatu hari ada seorang teman sesama pekerja bersama Ani melakukan percobaan
bunuh diri dengan mencoba melompat dari lantai paling atas di pabrik. Ani melihat
kejadian itu langsung menyuruhnya turun, tapi tidak ampuh, Ani mencoba
melakukan pendekatan yang dia baca di salah satu buku psikologi, yaitu mengajak
temannya lupa dengan apa yang dilakukannya. Sampai akhirnya teman Ani tidak
jadi melompat, dia menangis dan Ani dengan sigap memeluknya dan menguatkannya. Teman
Ani bercerita tentang depresi yang dialaminya sejak ditinggal oleh kekasih, Ani
belajar menjadi pendengar yang baik dan menenangkan temannya. Ani tahu bahwa
yang dibutuhkan teman Ani hanya seorang pendengar yang baik untuk mendengarkan
semua keluh kesahnya. Selain itu, Ani memberikan saran kepada temannya untuk
tidak mengulangi lagi perbuatan itu, Ani berbicara saat diberi kesempatan oleh
temannya. Ani mengajak temannya untuk lebih mencintai dirinya sendiri bukan
orang lain.
Meskipun
hanya segelintir ilmu psikologi yang diterapkan Ani namun Ani bersyukur dia
bisa mempratekkannya langsung. Ani ingin sekali suatu saat jadi psikolog bagi
orang-orang yang tersesat dengan perasaan dan hidupnya. Tapi nampaknya sekali
lagi ini hanyalah sebuah mimpi.
Sejak
tadi malam, sudah berhembus kabar, kalau Ani akan dijodohkan dengan salah satu
kerabat jauh kenalan Bibi dan Pamannya, tapi Ani tidak ambil pusing, sampai dia
kaget ada orang ramai datang membawa berbagai macam makanan ke rumah.
“Bibi,
ini mau ada acara apa bi?”, Ani bertanya karena penasaran
“Udah,
sana kamu ke dalam, dandan cantik, pakai baju yang udah Bibi siapin di lemari,
sana ke dalam dulu, cepat ya”. Bibi menyuruh Ani bergegas memakai pakaian dan
berdandan dengan cantik
Ani
tidak bodoh, dia tahu bahwa dia akan dijodohkan, memang benar ternyata kabar
yang berhembus, Ani tidak langsung menuruti kata Bibinya, dia mencoba mengintip
dari balik kamarnya, siapa orang yang akan dijodohkan bersamanya, kenapa Bibi
dan Pamannya tidak menyertakan dia untuk memilih pasangannya sendiri.
Ani
terkejut, karena yang dia lihat adalah seorang kakek tua yang tertawa tak lagi Nampak
giginya, Ani ingat, dia adalah kakek yang terkaya di daerahnya. Punya ladang
sawit dan beberapa perkebunan. Ani Kembali menutup tirai kamarnya.
Ani
menangis sejadi-jadinya, meskipun tidak terdengar bunyi tangisnya. Ani merasakan
bahwa hidupnya bukan kuasanya, tetapi Bibi dan Pamannya telihat lebih berhak daripada
dirinya sendiri. Ani menghapus air matanya. Ani segera bergegas berdandan
sesuai dengan permintaan Bibinya.
“tok..
tok.., Ani kamu udah siapkan? Ayo cepat keluar”, Bibi Ani menyuruhnya keluar
“Iya
Bi, tunggu sebentar, nanti aku keluar kok, Bibi duluan saja”,
“Ya
udah, Bibi tunggu ya”, Bibi bergegas ke ruang tamu
Ani
keluar dengan dandan terbaiknya, yang membuat orang terpana dan tertawa. Rupanya
Ani membuat dirinya terlihat acak-acakan, memakai baju asal-asalan dan tampak
seperti orang gila.
“Ani
kamu kok jadi gini sih?, jangan malu-maluin Bibi ya kamu”, Bibi Ani malu karena
ditertawakan orang-orang
“Kamu
siapa? Hahah. Aku bukan Ani (Ani memperagakan seperti orang gila)
Ani
berperan seperti orang kerasukan, dia mencakar orang-orang dan terlihat seperti
benar-benar gila, semua orang berlarian keluar dari rumah Ani, dan Kakek tua
tadi pergi terbirit-birit melihat Ani.
“Ani
kamu kenapa kok jadi gini? Gagal sudah perjodohan ini, gagal sudah jadi orang
kaya, Pak, gimana itu ponakanmu, kenapa jadi begini?”
Sejak
kejadian hari itu, tidak ada yang berani datang melamar Ani, Padahal Ani hanya
berpura-pura, supaya dia tidak dijodohkan dengan orang yang bukan pilihan
hatinya. Sebagai perempuan, Ani merasa hak dan kebebasannya dikekang, dia tidak
bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Dia ingin merdeka atas dirinya dan
pikirannya sendiri. Bukan diatur dan ditentukan oleh orang lain.
Komentar
Posting Komentar