Skizofrenia
Sumber Foto: Okezone.com
Sebut saja namaku Adri, aku
adalah anak lelaki dari dua bersaudara. Hidupku penuh dengan masalah, entah
sejak kapan aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku bisa mendengar
suara-suara lain di telingaku, seperti banyak orang yang berbisik dan berbicara
kepadaku, tapi uniknya hanya aku yang bisa mendengarnya, orang lain tidak bisa
mendengarnya.
Suara-suara aneh ini mengajakku
berbicara dan kadang membuat aku terlihat seperti orang gila, kadang aku bicara
sendiri, tertawa sendiri dan marah-marah sendiri. Keluargaku mulai khawatir
kenapa aku bisa seperti itu, apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apa yang harus
dilakukan supaya aku bisa seperti orang biasanya.
Orangtuaku terutama ibuku
mencari penyebab aku kenapa bisa seperti itu, lalu pergilah aku dan Ibuku ke
berbagai daerah untuk mencoba dengan jalan alternatif atau dengan obat kampung
yaitu ke dukun. Banyak dukun yang bilang kalau aku diguna-guna, aku diberi
banyak ramuan dan jampi-jampi. Tetapi tampaknya aku tidak berangsur sembuh,
malah semakin menjadi-jadi, aku menjadi makin parah, aku jadi mudah marah meskipun
aku tidak sampai menghancurkan barang-barang di rumah. Saat itu aku setengah
sadar, aku merasa tidak mampu mengendalikan emosiku. Banyak orang yang takut padaku dan mereka meminta Ibu memasungku dan mengikatku. Tetapi Ibuku tidak pernah melakukannya.
“Ayo nak cerita sama ibu,
apa yang harus ibu lakukan supaya kamu sembuh?”, Ibuku menangis mengatakannya
kepadaku, aku hanya melirik saja, sepertinya bibirku kaku untuk menjawab
pertanyaan ibuku. Aku berlalu pergi dan mulai berbicara sendiri Kembali.
Ibuku sudah tidak mampu
membawaku ke dukun lagi, karena tidak ada angsuran yang berarti, beliau memang
hanya seorang wanita tua yang lemah, tapi kelemahannya bukanlah alasan baginya
untuk berputus asa, dia selalu mencari banyak cara untuk mengobatiku. Aku
akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, di sana aku melihat banyak orang yang lalu
Lalang, ada yang mirip sepertiku tertawa sendiri dan menangis sendiri. Aku tahu
itu Rumah Sakit Jiwa, aku menolak untuk ditinggal di situ, aku tidak gila, aku
tidak gila.
“Ibu, aku tidak gila bu,
aku ingin pulang”, aku mengegam erat tangan Ibuku, tapi Ibuku masih tetap
berjalan masuk ke ruangan yang bertuliskan ruangan dokter.
Ketika masuk ke ruangan
dokter, aku diperiksa, aku sadar apa yang dikatakan dokter pada Ibuku, tapi
seketika itu aku juga mendengar suara-suara lain bermunculan Kembali di
kepalaku.
“Ibu, sepertinya Adri
mengidap penyakit yang cukup membahayakan dirinya, jika dia tidak bisa
mengatasinya. Namanya Skizofrenia, penyakit ini penyebabnya bisa banyak bu,
apakah Adri mengonsumsi narkoba bu?” begitu kata dokter menjelaskan penyakitku.
“Iya dok, dulu sebelum
seperti ini, Adri pernah mengonsumsi narkoba, saya tahu karena kedapatan di
rumah menghisap ganja dan sabu-sabu. Saya merasa gagal menjadi Ibu karena tidak
mengawasi Adri saat itu, sampai harus seperti ini”, mata Ibuku mulai terlihat
berkaca-kaca.
Dokter yang sejak tadi
menatapku merasa kasihan, aku masih muda, cukup tampan tapi sayang harus seperti ini karena narkoba.
“Oke bu, semua surat-surat
pengurusan Adri sudah selesai dan untuk sementara kita akan lihat bagaimana
perkembangan Adri selama di sini ya bu, saya akan usahakan yang terbaik untuk
Ibu dan Adri”. Begitu kata dokter saat mengakhiri pertemuan.
Ibu meninggalkan aku di
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) itu, aku masih dengan penyakitku, menangis dan tertawa
sendiri. Aku mulai bosan berada di sana, aku bukanlah orang gila yang harus
digabungkan dengan orang-orang gila ini. Aku waras, begitu kataku di dalam
hati.
Aku mencoba kabur dengan
melewati pagar RSJ tetapi aku ketahuan oleh salah seorang perawat, aku segera
dibawa ke ruangan yang agak sempit dan aku dikunci di sana. Perawat itu
berbicara cukup kasar kepadaku karena aku berniat kabur.
“Adri, sekali lagi saya
lihat kamu kabur, saya akan masukan kamu ke ruangan yang lebih sempit dan
gelap, ingat itu ya”, mata tajamnya menatapku
Sejak saat itu aku tidak
pernah lagi kabur dari RSJ itu. Aku menjalani semua tahapan yang dilakukan oleh
dokter dan perawat di sana. Memang cukup lama untuk menyembuhkan aku saat itu, meskipun
aku rajin minum obat dan mengikuti apapun terapi yang diberikan dokter
kepadaku.
Tetapi mulai berangsur
membaik, meskipun aku memang tidak terlepas dari obat, kata dokter, seumur hidup
aku selalu bergantung dengan obat. Aku sedih mendengarnya, tapi aku mencoba
untuk mengendalikan diriku namun aku sering gagal.
Hingga aku akhirnya aku
mulai memperlihatkan perkembanganku, dokter dan perawat adalah teman baikku, Aku
bahkan sering dimintai bantu untuk mengantarkan makanan kepada teman-temanku,
aku senang dan Bahagia karena ada orang yang percaya padaku. Pemandangan yang
sangat sering aku temukan, banyak orang yang berada di RSJ yang saat itu tidak
dijenguk oleh keluarganya, dibiarkan begitu saja. Beruntung sekali aku, meski Ibu
tidak sering datang melihatku, tapi aku tidak dibiarkan begitu saja. Beliau masih
bisa datang dan memberi senyum manisnya setiap melihatku dan menanyakan keadaanku.
Tapi aku kadang melihat ada bulir air yang ada di matanya, apa mungkin Ibu
menangis karenaku?
Waktu berlalu tanpa terasa,
Sampailah waktu yang dinantikan, aku akhirnya bisa keluar dari RSJ, aku diberitahu
kalau aku sudah bisa rawat jalan dan tidak harus berada di RSJ lagi, aku senang
bukan kepalang. Aku bergegas ke ruang
tunggu dan perawat bilang kalau Ibu menelponku, dari ujung suara terdengar suara Ibu yang
sangat aku rindukan.
“Halo Adri, siang ini Ibu jemput
kamu ya, kamu tunggu Ibu di ruangan tunggu ya”, begitu kata Ibuku
“Iya bu, aku sudah sangat
rindu dengan Ibu, aku udah siap nih bu, siap ketemu Ibu, kita pulang”, aku
hampir mengeluarkan air mata
Aku senang sekali karena
aku bisa keluar dan akan bertemu sanak saudara, rasanya aku benar-benar sudah
tidak sabar. Aku sebentar lagi akan berada di dunia yang lebih bebas dan bisa
mengajak Ibu jalan-jalan ke tempat yang beliau suka. Sudah Panjang khayalanku,
aku akan membawa Ibu makan di tempat makan kesukaannya dan cerita banyak hal
tentang diriku selama di RSJ.
Mataku terus tertuju pada
pintu, tetapi tak ada satu orangpun yang muncul dari sana. Terdengar suara
gesekan kaki, ternyata bukan Ibu, tetapi
perawat yang bertugas di ruang tunggu.
Aku sudah menunggu sampai sore,
sepertinya masih belum terlihat sosok
yang aku tunggu, Ibuku lama sekali, biasanya dari rumahku ke RSJ hanya sekitar 3
jam saja. Hari sudah mulai gelap. perawat di sana mendekatiku dan menyuruhku
untuk Kembali ke dalam, aku menolaknya, aku bersikeras menunggu Ibuku di ruang
tunggu. Aku meminta perawat di sana untuk menelpon ibuku, aku memohon padanya.
Tiba-tiba terdengar Langkah
kaki lelaki yang aku kenal, ya dia adalah Abangku, Abang tertua yang sebelumnya
tidak peduli denganku. Mengapa dia yang menjemputku? Begitu kata batinku.
“Ayo, Adri kita pulang,
semua orang sudah menunggumu di rumah”, Begitu katanya
“Ibu mana? Aku hanya
menunggu ibu menjemputku, bukan lo”, begitu kataku ketus
“Ayo pulang, aku nggak bisa
kasih tahu sekarang, nanti kita ketemu Ibu di rumah,” Dia membujukku
Aku hanya menatapnya tajam,
tak banyak bicara, aku mengikuti Langkah kakinya pulang.
Aku jadi penasaran, Apa
alasan Ibu berbohong kepadaku?, kenapa di rumah ramai sekali?, apakah Ibu
sengaja memberikan kejutan padaku dengan mengundang tetangga datang ke rumah?
ada banyak orang yang duduk di luar dan di dalam rumah, aku tak begitu memperhatikan
wajah mereka.
Ketika aku masuk ke dalam
rumah, aku mendapati tubuh yang sudah terbujur kaku, iya, dia adalah Ibuku yang
ku sebut wanita lemah yang tak mudah berputus asa. Aku menangis sejadi-jadinya,
aku dekap tubuh Ibuku, “Ibu, Adri udah pulang bu, Adri sudah sembuh, Adri nggak
nyusahin Ibu lagi, maafkan Adri bu”.
Kok sad ending?
BalasHapusKirain bakal ada plot twist-nya, kayak ternyata ibunya sudah meninggal lama dan suara yg dia dengar selama ini adalah suara ibunya. Hehe 😀
Wwkwkwk makasih udah berkunjung ya. Iya, sad ending. Huhuhu
HapusKeren juga kalau dibikin plot twist gitu yaa